Kasih Sayang Rosululloh SAW dalam Keluarga
Ibnu Umar pernah datang kepada Aisyah RA dan berkata, “Izinkan kami di sini sejenak dan ceritakanlah kepada kami perkara paling mempesona dari semua yang pernah engkau saksikan pada diri Nabi.”
Ibnu Umar pernah datang kepada Aisyah RA dan berkata, “Izinkan kami di sini sejenak dan ceritakanlah kepada kami perkara paling mempesona dari semua yang pernah engkau saksikan pada diri Nabi.”
‘Aisyah menarik nafas panjang. Kemudian dengan terisak menahan tangis, ia berkata dengan suara lirih, “Kaana kullu amrihi ‘ajaba. Ah, semua perilakunya menakjubkan bagiku.”
Kalau ‘Aisyah istri Rosulullah berkata, “Ah, semua perilaku suamiku menakjubkan bagiku.”. Kira-kira apakah yang akan diucapkan oleh istri kita jika kita sebagai suaminya ditakdirkan meninggal lebih dulu. Kita juga tidak tahu apakah yang akan diucapkan oleh anak-anak kita tentang orangtuanya.
Semuanya terpulang kepada kita. Apakah kita mau mencoba untuk menjadi bapak dan suami yang lebih menyejukkan hati –meski harus gagal berkali-kali—ataukah kita merasa telah cukup mulia dengan perhatian kita yang tak seberapa.
Banyak para bapak enggan mengusapkan tangan ke pipi anaknya yang sedang meneteskan airmata. Mereka juga tidak pernah menyempatkan diri, meski cuma sekali, untuk membaringkan tubuh anaknya yang letih hanya karena mereka merasa telah banyak berjasa dengan mencari uang yang tak seberapa.
Mereka ingin dihormati oleh anak-anaknya, tetapi dengan menciptakan jarak sehingga anak tak pernah sanggup mencurahkan isi hatinya kepada bapaknya sendiri. Mereka ingin menjadi bapak yang disegani, tetapi dengan cara membangkitkan ketakutan. Padahal Rasulullah Saw. sering mencium putrinya, Fathimatuz Zahra. Bahkan ketika putrinya telah beranjak dewasa.
Berikut ini teladan dari Junjungan Kita SAW :
Aisyah r.a.: Ada seorang Arab dusun datang kepada Nabi Saw. sambil berkata, “Engkau mencium anak-anak, sedangkan kami tidak pernah mencium mereka.” Nabi Saw. menjawab, “Apa dayaku apabila Tuhan telah mencabut kasih-sayang dari hatimu.” (HR. Bukhari).
Nabi Saw. mencontohkan bagaimana menyayangi anak. Pernah Rasulullah Saw. menggendong cucunya, Umamah binti Abi Al-Ash, ketika sedang shalat. Jika rukuk, Umamah diletakkan dan ketika bangun dari rukuk, maka Umamah diangkat kembali.
Pernah juga Rasulullah Saw. bermain kuda-kudaan dengan cucunya yang lain,Hasan dan Husain. Ketika Rasulullah Saw. sedang merangkak di atas tanah,sementara kedua cucunya berada di punggungnya, Umar datang lalu berkata,“Hai Anak, alangkah indah tungganganmu.” Rasulullah Saw. menjawab,“Alangkah indahnya para penunggangnya!”
Tak jarang Rasulullah Saw. menghadapi anak-anak dengan sikap melucu. Bila mendatangi anak-anak kecil, Rasulullah Saw. jongkok di hadapan mereka, memberi pengertian kepada mereka, juga mendo’akan mereka. Begitu hadis riwayat Ath-Thusi menceritakan.
Sementara Usamah bin Zaid memberi kesaksian, “(Sewaktu aku masih kecil ) Rasulullah Saw. pernah mengambil aku untuk didudukkan pada pahanya, sedangkan Hasan didudukkan pada paha beliau yang satunya, kemudian kami berdua didekapnya, seraya berdo’a, “Ya Allah,kasihanilah keduanya, karena aku telah mengasihi keduanya.” (HR. Bukhari).
Abu Hurairah ra pernah menceritakan: “Rasulullah saw pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali ra. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.
Pernah Beliau sholat sambil menggendong Umamah putri Zaenab binti Rasulullah saw dari suaminya yang bernama Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan ketika sujud, beliau meletakkannya. (Muttafaq ‘alaih).
Kisah tentang Rasulullah Saw. bersama anak adalah kisah tentang kasih-sayang. Ia memendekkan shalatnya ketika mendengar tangis anak. Karena anak pula, Rasulullah Saw. pernah bersujud sangat lama. Begitu lamanya Rasulullah Saw. bersujud sampai-sampai para sahabat mengira Rasulullah Saw. sedang menerima wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah, ada cucu yang menaiki punggungnya.
Tentang mencintai anak, Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Cintailah anak-anak dan sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka, tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rezeki.” (HR. Ath-Thahawi).
Air mata Nabi Muhammad saw menetes disebabkan kematian putra beliau bernama Ibrahim, Abdurrahman bin ‘Auf ra bertanya kepada beliau: “Apakah Anda juga menangis wahai Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab: “Wahai Ibnu ‘Auf, ini adalah ungkapan kasih sayang yang diiringi dengan tetesan air mata. Sesungguhnya air mata ini menetes, hati ini bersedih, namun kami tidak mengucapkan kecuali yang diridhai Allah Ta’ala. Sungguh, kami sangat berduka cita berpisah denganmu wahai Ibrahim.” (HR. Bukhari).
Meskipun anak-anak biasa merengek dan mengeluh serta banyak tingkah, namun Nabi Muhammad saw tidaklah marah, memukul, membentak, dan menghardik mereka. Beliau tetap berlaku lemah lembut dan tetap bersikap tenang dalam menghadapi mereka.
Hari ini, ketika kita mengaku sebagai ummat Muhammad, apakah yang sudah kita lakukan pada anak-anak kita? Apakah kita telah mengusap kepala anak-anak kita sebagaimana Rasulullah Saw. melakukan? Apakah kita juga telah mengecup kening anak-anak kita yang sangat rindu kasih-sayang bapaknya?
Ataukah kita seperti Aqra’ bin Habis At-Tamimi yang tak pernah mencium anaknya, sehingga Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari).
Kita ingin disayangi oleh anak-anak kita ketika usianya telah tua, tetapi tidak pernah menanam cinta dan kasih-sayang. Kita ingin dirindukan oleh anak-anak kita di saat renta, tetapi tak pernah punya waktu untuk tertawa bersama. Banyak yang merasa, kerja sehari telah cukup untuk membeli semua. Sehingga tidak ada yang mengetahui urusan anak di rumah, kecuali istri. Bahkan yang lebih tragis, istri pun tak tahu sama sekali, sebab telah ada pembantu yang menggantikan semuanya.
Astaghfirullahal ‘adzim. Alangkah sering kita merasa suci, padahal sudah seberapa banyak perilaku Nabi Saw kepada anak atau istri yang sanggup kita contoh.
Sumber : Rumah Yatim Indonesia
0 comments:
Post a Comment