Tiga Waktu atau Lima Waktu

Oleh : Akmal Kamil

 

Pasca mencicipi beberapa kuliner khas daerah di salah satu resto di bilangan  Ampera pada acara bukber sekaligus reunian “after 17 years”,  sebagian teman bertanya ihwal dimana menunaikan shalat Maghrib? Tiba-tiba ada yang menyahut, tempatnya hanya cukup untuk dua orang mengingat ruang untuk shalat itu modelnya minimalis. Sontak saya menyelutuk, shalat Maghrib dan Isya dapat dikerjakan secara bersamaan (jamak) ketika pulang ke rumah, tentu sebelum tibanya mid-night syar’i (tengah malam sebelum usainya waktu syar’i).  “Memang bisa”? Tanya salah seorang teman penasaran. “Kalau memang bisa alangkah banyaknya persoalan kantoran dapat diselesaikan,” ujarnya melengkapi. Sederhana saya menimpali, bahwa bukan hanya Anda yang terbantukan pekerjaannya namun banyak kaum Muslimin akan terbantukan shalatnya dengan menjalankan konsep tiga waktu shalat. Konsep tiga waktu shalat yaitu membagi waktu shalat menjadi tiga bagian, Dhuhur dan Ashar dikerjakan secara bersamaan di waktu Dhuhur (awal) atau waktu Ashar (akhir). Maghrib dan Isya dilaksanakan secara bersamaan di waktu Maghrib (awal) atau saat Isya (akhir). Shalat Subuh ditunaikan secara terpisah. Adapun konsep lima waktu adalah shalat Dhuhur dikerjakan pada waktu Dhuhur secara terpisah dari shalat Ashar yang harus ditunaikan pada waktu Ashar. Demikian juga shalat Maghrib dikerjakan pada waktu Maghrib secara terpisah dari shalat Isya. Dan shalat Subuh dikerjakan pada waktu Subuh. Demikian konsep lima waktu shalat.

Dari banyak pengalaman teman-teman yang  bekerja sebagai seorang professional, tenaga ekspert, pegawai kantoran, officer-officer offshore, buruh-buruh pabrik dan bangunan, para nelayan, petani atau anak sekolahan mereka menghadapi persoalan dilematik, antara harus memilih shalat (dengan konsep lima waktu) atau tetap melanjutkan tugas-tugasnya. Atau lantaran keletihan bekerja sehingga tidak lagi punya mood mengerjakan shalat mengingat waktunya telah usai. Tidak kurang dari mereka yang memilih untuk tidak mengerjakan shalat lagi tatkala waktunya telah berakhir. Kondisi seperti ini diam-diam berentetan pada shalat-shalat lainnya. Sedemikian sehingga yang tercipta dalam benak mereka adalah shalat menggangu aktifitas keseharian saya. Demikian yang dihadapi oleh mereka dengan menggunakan konsep lima waktu shalat.

Padahal kalau kita ingin berkaca dengan al-Qur’an, ayat dan riwayat disebutkan bahwa waktu shalat itu hanya tiga bagian. Juga terdapat riwayat yang menyokong konsep tiga waktu ini. Artinya ia boleh dikerjakan secara legal untuk menyiasati kondisi kekinian yang serba time-limit, yang serba harus memenuhi target yang disasar. Karena itu, saya menjanjikan kepada teman-teman untuk mendiskusikan masalah ini, menelusuri belantara ayat dan riwayat untuk memformulasikan (sudah terformulasi sih) konsep tiga waktu shalat lengkap dengan dalil-dalil argumentatifnya. Boleh jadi di antara kaum professional itu dapat terbantukan sedikit persoalannya dalam membagi waktu untuk ibadah dan waktu untuk bekerja.

Kita tahu bahwa seluruh kaum Muslimin sepakat terdapat lima kewajiban shalat sepanjang siang dan malam. Mereka juga setuju bahwa kelima shalat wajib ini memiliki waktu khusus yang harus dikerjakan dan bahwa menggabungkan shalat-shalat dapat dikerjakan sewaktu-waktu (misalnya shalat zuhur dapat dikerjakan secara bersamaan disusul shalat asar, atau segera setelah shalat magrib, shalat isya dapat dikerjakan). Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali sepakat bahwa menggabung shalat ketika dalam perjalanan (safar) dibolehkan, namun mereka tidak membolehkan menggabung shalat untuk alasan lain.  Mazhab Hanafi membolehkan menggabung shalat hanya pada hari Arafah, sementara Syiah Imamiyah membolehkan menggabung shalat dalam setiap kesempatan, berdiam di suatu tempat (mukim) atau dalam perjalanan (safar), tanpa ada alasan tertentu, pada masa damai atau perang, cuaca hujan atau tidak, dan seterusnya. Perbedaan sebenarnya pada kapan akhir dan awal dari waktu-waktu shalat ini dan sudah seharusnya perbedaan ini harus diselesaikan dengan merujuk kepada Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah Saw.

Tiga ayat-ayat Al-Quran berbicara tentang waktu-waktu shalat. Allah Swt berfirman, Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam (pertengahan malam) dan (dirikanlah pula) shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat malam dan siang). (QS. Al-Isra [17]:78). “Sesudah matahari tergelincir” terkait dengan waktu bersama untuk shalat zuhur dan shalat ashar, gelap malam berhubungan dengan shalat magrib dan shalat isya. Adapun waktu subuh (fajr) terkait dengan shalat subuh.

Al-Quran dengan jelas dan lugas menyebutkan bahwa terdapat tiga waktu utama untuk shalat lima waktu. Meski jumlah shalat ada lima, kelima waktu shalat ini dibagi menjadi tiga waktu shalat.

Ulama kawakan Sunni, Fakhruddin Razi memahami penafsiran ini juga dari ayat ini[1]  Tentu saja, shalat-shalat harus dikerjakan dengan tertib, yakni shalat zuhur harus dikerjakan terlebih dahulu sebelum shalat asar, shalat magrib dilaksanakan sebelum shalat isya.

Al-Quran juga menyatakan, Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Hud [11]:114) Fukaha dan mufasir Al-Quran sepakat bahwa ayat ini terkait dengan lima shalat wajib dan sebagaimana yang dinyatakan Al-Quran, menentukan waktu shalat – yaitu, tiga waktu utama, dua di antaranya adalah pada “tepi siang” dan tiga lainnya adalah pada “pada bagian permulaan malam.”

Yang pertama, “tepi siang” adalah waktu shalat-shalat pagi; kedua “tepi siang” bermula dari siang dan berakhir pada tenggelamnya matahari, waktunya adalah waktu untuk shalat zuhur dan shalat asar; dan “pada bagian permulaan malam” adalah waktu utama ketiga yang terkait dengan shalat magrib dan isya yang waktunya terentang semenjak permulaan malam hingga tengah malam.

Pembagian yang sama juga dinyatakan dalam ayat ketiga, Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum matahari terbit dan sebelum terbenam. Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya pada malam hari dan setiap selesai shalat. (QS. Qaaf [50]:39-40) Sebagaimana pada ayat sebelumnya, para fakih dan mufasir Al-Quran setuju bahwa ayat ini berkenaan dengan waktu lima shalat wajib dan membagi waktu shalat menjadi tiga, pertama, “semenjak subuh hingga terbitnya matahari” yang merupakan waktu shalat subuh; kedua, “semenjak siang hingga terbenamnya matahari” yang merupakan waktu shalat-shalat siang dan sore; dan ketiga, “pada malam hari” yang terentang semenjak terbenamnya matahari hingga tengah malam yang merupakan shalat magrib dan shalat isya. “Dan setiap selesai shalat” menurut para mufassir, terkait dengan shalat-shalat nawafil  (yang dianjurkan) atau shalat-shalat lainnya, lebih khusus, shalat tahajjud yang merupakan shalat sunnah yang sangat dianjurkan.

Imam Bukhâri dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw biasa menggabungkan shalat menjadi tiga waktu: “Rasulullah Saw menunaikan shalat zuhur dan asar bersamaan dan shalat magrib dan isya bersamaan tidak dalam keadaan takut (khauf) atau dalam perjalanan.”[2]

Imam Muslim menukil hadis yang sama dan menambahkan bahwa ketika Rasulullah Saw ditanya oleh Ibnu Abbas mengapa beliau menggabungkan dua shalat. Rasulullah Saw menjawab bahwa ia tidak ingin menimbulkan kesulitan bagi umatnya.”[3]

Pada buku yang sama, Ibnu Abbas sendiri menukil bahwa mereka biasa menggabungkan dua shalat pada masa Rasulullah Saw.[4] 

Karena itu, baik Al-Quran atau Hadis Rasulullah Saw menunjukkan dengan jelas kebolehan menggabungkan shalat tanpa adanya alasan tertentu dan Allah Swt membuat agama-Nya mudah bagi orang-orang beriman. Sekarang berpulang pada kita untuk memilih yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi kita. Tiga waktu atau lima waktu. Itu saja. Semoga bermanfaat. []

 

[1]. Tafsir , 5:428

[2]. Shahih Bukhâri, Book on Times of Prayers, hadis 510, 529; Book on Friday Prayer, hadis 1103; Shahih Muslim, Book on the Prayer of Travellers, hadis 1146; al-Tirmidhi, Book on Prayer hadis 172; al-Nisa'i, Book on Timings, hadis 585, 597, 598, #599; Abu Dawud, Book on Prayer, hadis 1024, 1025, 1027; Musnad Ahmad ibn Hanbal, 1:217, 221, 223, 251, 273, 283, 285, 346, 349, 351, 354, 360, 366; Malik, Book on Shortening the Prayer While Travelling, hadis 300.

[3]. Shahih Muslim, Book of the Prayers of Travellers, bab. 6 #50-54

[4].  Shahih Muslim, bab. 6-8, 58-62

0 comments: